Senin, 17 Agustus 2009

Puisi Terakhir Rendra



'Tuhan, Aku Cinta Padamu..'

Foto detikNews
Puisi terakhir Rendra menghadirkan nuansa religius yang dalam, yang mengisyaratkan kecintaan pada Sang Pencipta.

"Tuhan, aku cinta padamu..." demikian penggalan puisi yang tak diberi judul itu. Puisi terakhir ini ditulis Rendra pada 31 Juli di RS Mitra Keluarga.

Teks puisi bertulis tangan itu diperlihatkan di rumah duka di Bengkel Teater, Citayam, Depok, Jumat (7/8/2009). Berikut teks puisi tersebut:

Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu

Rendra
31 July 2009
Mitra Keluarga (nvc/nrl)

Sumber: detikNews, Jumat, 07/08/2009

Label: ,

Minggu, 09 Agustus 2009

"Burung Merak" Itu Pun Terbang

KOMPAS/JULIAN SIHOMBING
Ekspresi WS Rendra dengan "seribu wajahnya" dalam acara pembacaan sajak-sajak "Penabur Benih" di Teater Terbuka TIM, 25-26 Juli 1992.

Penyair dan dramawan WS Rendra, yang tenar dijuluki ”Si Burung Merak”, kini terbang selamanya. Setelah lebih dari sebulan dirawat akibat serangan jantung koroner di sejumlah rumah sakit, budayawan bersuara lantang ini meninggal di RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (6/8) pukul 22.10.

Rendra, menurut keterangan pihak keluarga, akan dimakamkan setelah shalat Jumat hari ini di TPU Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Citayam, Depok.

Sebelumnya, seniman kelahiran Solo tahun 1935 ini dirawat di Rumah Sakit Cinere sejak 25 Juni. Namun, karena kondisinya tak kunjung membaik, Rendra lalu dirujuk dirawat di RS Harapan Kita di Jakarta Barat, sebelum akhirnya ke RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading.

Mas Willy, panggilan akrab penyair yang bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, tetapi kini bernama resmi Wahyu Sulaiman Rendra, gara-gara sakitnya, tak bisa menghadiri pemakaman teman karibnya, Mbah Surip. Penyanyi eksentrik ini mendahuluinya meninggal dan dimakamkan di Kompleks Pemakaman Bengkel Teater, Citayam, Depok, Selasa lalu.

Selain dikenal garang dan lantang menentang ketidakadilan, penyair dan dramawan WS Rendra juga sering kali mengadakan gerakan-gerakan penyadaran kebudayaan, antara lain Perkemahan Kaum Urakan di Parangtritis, Yogyakarta, pada sekitar tahun 1975.

Ia juga sering menyampaikan Pidato-pidato Kebudayaan yang sering dikutip orang. Seperti ketika ia mengatakan bahwa posisi seorang budayawan yang ideal itu tidak berpihak kepada apa pun dan siapa pun, tetapi kepada kebenaran. Rendra menyebut kelompok ideal seperti ini sebagai ”mereka yang berumah di atas angin”.

Proses kreatif Rendra

Dan inilah yang jarang diketahui orang. Proses kreatif Rendra atau Mas Willy, menurutnya dalam sebuah pidato, diperoleh dari kedisiplinan menjalani hidup.

”Adapun disiplin dan cara yang saya maksud itu saya peroleh berkat ajaran yang saya dapat dari Mas Janadi, sejak saya berumur empat setengah tahun,” kata Rendra, dalam pidatonya saat memperoleh Penghargaan Achmad Bakrie tahun 2006.

Janadi, menurut Rendra, adalah pembantunya, kiriman kakeknya. Meski hanya pembantu, Rendra mengaku ia adalah guru pribadinya. ”Ketika saya berada di kelas lima sekolah dasar, Mas Janadi wafat,” ungkap Rendra dalam pidatonya tersebut.

Mengaku lahir dari keluarga Jawa, ajaran Mas Janadi itu menurut Rendra juga mengangkat tradisi Jawa, khususnya Suluk Demak. Bukan tradisi Jawa Mataram Islam.

”Secara ringkas, disiplin dan cara olah kreatif itu dirumuskan dalam kalimat Manjing ing kahanan, nggayuh karsaning Hyang Widhi, yang dalam bahasa Indonesia kontemporer berarti 'Masuk ke dalam kontekstualitas, meraih kehendak Allah'.”

Masuk ke dalam kontekstualitas itu, menurut Rendra, bekalnya adalah rewes dan sih katresnan. Rewes adalah kepedulian. Sih katresnan adalah cinta kasih (karisma).

”Maka seorang yang kreatif harus selalu berusaha agar ia selalu mempunyai kepedulian terhadap lingkungan yang mengelilingi dirinya, dari saat ke saat. Mulai dari lingkungan yang terdekat: baju-bajunya, meja tulisnya, lemarinya, negaranya, segenap flora dan faunanya, tetangganya, bangsanya, bumi, langit, samudra, alam semesta raya,” kata Rendra.

”Mas Janadi menganjurkan kepada saya bagaimana mengolah kesadaran pancaindra, kesadaran pikiran, kesadaran naluri dan kesadaran jiwa untuk bisa lebih cermat dalam memedulikan lingkungan.”

”Segenap kesadaran harus dilatih dan dididik agar bisa membeda-bedakan hal dan perkara. Mas Janadi berkata, sikap bijaksana itu artinya bisa membedakan hal dan perkara dalam mempertimbangkan masalah,” kata Rendra dalam pidatonya tahun 2006 itu.

Rendra, yang dikenal melalui penampilan-penampilannya dalam drama seperti Panembahan Reso (1986) ataupun Perjuangan Suku Naga, juga mengaku belajar berbahasa secara baik dari guru bahasa Indonesianya, Ignatius Sunarto.

”Ia berpesan, jangan bosan belajar sintaksis (tata bahasa). Barangsiapa bisa membedakan perkara, tanda ia cerdas,” tuturnya dalam pidato waktu itu.

Latihan peduli

Bukan tanpa proses jika seorang Rendra dulu memiliki kepedulian. ”Latihan kepedulian dan kecermatan kepedulian ini harus menjadi usaha sehari-hari sehingga bisa menghasilkan banyak pengetahuan akan detail, dan juga bisa memperdalam dan memperluas wawasan kesadaran jiwa dan pikiran,” kata Rendra.

”Disiplin kepedulian ini harus dilanjutkan dengan langkah ngerangkul, artinya merangkul, yaitu keikhlasan untuk terlibat. Latihan keterlibatan ini harus mulai dari keterlibatan kepada lingkungan terkecil sampai ke lingkungan yang jauh melebar,” kata Rendra pula.

”Mas Janadi selalu memerhatikan, apakah kalau lantai kamar kotor, saya segera menyapunya? Apakah tempat tidur saya selalu teratur rapi? Apakah kalau saya tahu ibu saya memerlukan air di dapur, saya segera mengambil air dari sumur untuknya? Apakah saya ikhlas mengorbankan tabungan saya untuk beli bola bagi klub sepak bola kami yang bolanya tengah rusak? Apakah saya cukup sabar menggendong adikku ke gedung bioskop karena ia sangat ingin menonton film Tarzan, Monyet Putih? Begitu seterusnya.”

Entah secara kebetulan atau apa, menurut pihak keluarga, Mas Willy sebenarnya ingin kembali ke bengkelnya di Depok untuk merayakan tujuh hari meninggalnya Mbah Surip, sahabatnya. Ternyata, ia malah menyusul sang sahabat.

Selamat jalan, Mas Willy. Selamat jalan penyair idola. Selamat jalan, selamat jalan.... (THY/ED/ISW/IAM/CAN/SHA/NAL)

Sumber: Kompas, Jumat, 7 Agustus 2009

Label: ,

Hidup Bukanlah untuk Mengeluh dan Mengaduh


...Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh/Hidup adalah untuk mengolah hidup/bekerja membalik tanah/memasuki rahasia langit dan samodra/serta mencipta dan mengukir dunia/Kita menyandang tugas/kerna tugas adalah tugas/Bukannya demi sorga atau neraka/Tetapi demi kehormatan seorang manusia//Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu/meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu/Kita dalah kepribadian/dan harga kita adalah kehormatan kita/Tolehlah lagi ke belakang/ke masa silam yang tak seorang pun kuasa menghapusnya....

Dalam percakapan lewat telepon, 4 Agustus lalu, Ken Zuraida, istri budayawan WS Rendra, mengabarkan, ”Mas Willy pulang pukul lima hari ini,” dengan nada riang. Saat itu, Rendra sudah hampir sebulan dirawat di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. Penyair berjuluk ”Si Burung Merak” itu, ujar Ken, tidak akan pulang langsung ke Bengkel Teater Rendra di Cipayung, tetapi menuju rumah Clara Shinta di Depok. ”Mas Willy masih harus kontrol. Nanti ada perawat yang menemani,” kata Ken.

Kami benar-benar tak bisa menangkap isyarat nasib. Kamis (6/8) pukul 22.00, Rendra benar-benar pulang untuk selamanya di RS Mitra Keluarga. Tentu ia pergi dengan kepak sayap burung meraknya yang ”jantan” dan perkasa.

Sebagaimana puisi yang berjudul ”Sajak Seorang Tua untuk Istrinya” yang ditulis Rendra tahun 1970-an, hidup bukan untuk mengeluh dan mengaduh dan bukan pula demi surga atau neraka, tetapi demi kehormatan seorang manusia. Meski ia telah tua dan reyot pada usia 74 tahun, ia menyeru harga kita adalah kehormatan kita.

Rendra, bagi kita, bukan sekadar penyair dan dramawan, ia tegar sebagai manusia dan berani menantang zamannya. Dramawan dan novelis Putu Wijaya yang pernah bergabung dengan Bengkel Teater Rendra semasa di Yogyakarta mengatakan, Rendra guru yang memberikan ilmu, sahabat yang bisa diajak becanda, sekaligus musuh yang menjadi sparring partner. ”Murid yang baik adalah murid yang mampu naik ke atas kepala gurunya. Itu selalu kata Mas Willy,” ujar Putu Wijaya.

Putu adalah mantan murid Rendra yang kemudian mendirikan Teater Mandiri. Tentu ungkapan Rendra tidak bermaksud mengajarkan ketidaksopanan kepada seorang murid, tetapi alangkah indahnya jika prestasi murid jauh melebihi gurunya. Putu dengan Teater Mandiri barangkali telah menjadi prestasi lain dalam prestasi dunia perteateran di Tanah Air.

Penyair Sapardi Djoko Damono menuturkan, Rendra adalah ”tukang kata” yang telah menyihir dirinya memasuki dunia sunyi seorang penyair. ”Ia telah meyakinkan saya untuk bisa dihayati penyair tak boleh berlindung di balik bahasa yang ruwet, hanya dengan demikian kata bisa unggul dari bedil,” kata Sapardi.

Pernyataan itu menjelaskan kepada kita bahwa Rendra sesungguhnya bukan sekadar penyair atau dramawan. Ia memperjuangkan hakikat manusia ”bebas”, yang senantiasa berpikir mandiri, tanpa mau ditekan atau dipengaruhi oleh kekuasaan. Itulah yang bisa menjelaskan mengapa pada tahun 1975 sepulang dari bersekolah di American Academy of Dramatic Art, New York, Amerika Serikat, ia menggelar Perkemahan Kaum Urakan di Parangtritis, Yogyakarta.

Peristiwa itu selalu dikenang Rendra sebagai gerakan penyadaran kebudayaan. Ia selalu mengatakan, ”Posisi seorang budayawan yang ideal itu tidak berpihak pada apa pun atau siapa pun, akan tetapi pada kebenaran.”

Maka dari situ kita bisa memahami secara lebih utuh mengapa Rendra menulis sajak-sajak yang dicap sebagai sajak pamflet, yang tidak jarang membawanya berurusan dengan penguasa. Bisa pula dimengerti mengapa ia selalu menuliskan dan mementaskan drama-dramanya yang sarat akan kritik terhadap kesewenang-wenangan penguasa.

Tentu tak seorang lupa akan pementasan drama Panembahan Reso pada pertengahan tahun 1980-an, yang tidak saja berdurasi lebih dari tujuh jam, tetapi juga mengkritik dengan cara menyindir kekuasaan yang absolut pada saat itu.

Kini ”Si Burung Merak” boleh pergi, boleh berkubang tanah, tetapi segala hal yang pernah dia kerjakan tidak akan mudah dilumerkan oleh zaman. Rendra tetap ada dalam catatan hari-hari kita menjalani hidup sebagai manusia Indonesia...(CAN/THY/IAM)

Sumber: Kompas, Jumat, 7 Agustus 2009

Label: ,

Sajak-sajak Rendra

Pengantar:

Mengenang Rendra (lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935, dan wafat di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009), berikut ini kami muat sejumlah karya Almarhum yang berasal dari beberapa kurun kepenyairannya. Rendra, dengan sajak-sajaknya yang kuat mengandung muatan naratif dan dramatik, menempati posisi unik dalam perpuisian Indonesia yang sarat dengan puisi lirik. Dan sebagaimana tampak pada setiap kumpulan sajak yang muncul dari dekade ke dekade sejak pertengahan 1950-an, Rendra telah menjelajahi berbagai ranah tema dan gaya ungkap, namun sekaligus intens dan konsisten menyuarakan daya hidup manusia di tengah kepungan derita dan angkara murka. Selamat membaca.

KOMPAS/DANU KUSWORO
Pentas puisi Rendra di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, tahun 2005.


Ballada Penyaliban

Yesus berjalan ke Golgota
disandangnya salib kayu
bagai domba kapas putih.

Tiada mawar-mawar di jalanan
tiada daun-daun palma
domba putih menyeret azab dan dera
merunduk oleh tugas teramat dicinta
dan ditanam atas maunya.

Mentari meleleh
segala menetes dari luka
dan leluhur kita Ibrahim
berlutut, dua tangan pada Bapa:

– Bapa kami di sorga
telah terbantai domba paling putih
atas altar paling agung.
Bapa kami di sorga
Berilah kami bianglala!

Ia melangkah ke Golgota
jantung berwarna paling agung
mengunyah dosa demi dosa
dikunyahnya dan betapa getirnya.

Tiada jubah terbentang di jalanan

bunda menangis dengan rambut pada debu
dan menangis pula segala perempuan kota.

– Perempuan!
mengapa kautangisi diriku
dan tiada kautangisi dirimu?

Air mawar merah dari tubuhnya
menyiram jalanan kering
jalanan liang-liang jiwa yang papa
dan pembantaian berlangsung
atas taruhan dosa.

Akan diminumnya dari tuwung kencana
anggur darah lambungnya sendiri
dan pada tarikan napas terakhir bertuba:

– Bapa, selesailah semua!

(dari Ballada Orang-orang Tercinta, 1957)

Kupanggil Namamu

Sambil menyeberangi sepi kupanggili namamu, wanitaku. Apakah kau tak mendengarku?

Malam yang berkeluh kesah memeluk jiwaku yang payah yang resah kerna memberontak terhadap rumah memberontak terhadap adat yang latah dan akhirnya tergoda cakrawala.

Sia-sia kucari pancaran sinar matamu. Ingin kuingat lagi bau tubuhmu yang kini sudah kulupa. Sia-sia. Tak ada yang bisa kujangkau. Sempurnalah kesepianku.

Angin pemberontakan menyerang langit dan bumi. Dan dua belas ekor serigala muncul dari masa silam merobek-robek hatiku yang celaka.

Berulang kali kupanggil namamu Di manakah engkau, wanitaku? Apakah engkau juga menjadi masa silamku? Kupanggili namamu. Kupanggili namamu.

Kerna engkau rumah di lembah. Dan Tuhan? Tuhan adalah seniman tak terduga yang selalu sebagai sediakala hanya memperdulikan hal-hal yang besar saja.

Seribu jari masa silam menuding kepadaku. Tidak. Aku tak bisa kembali.

Sambil terus memanggili namamu amarah pemberontakanku yang suci bangkit dengan perkasa malam ini dan menghamburkan diri ke cakrawala yang sebagai gadis telanjang membukakan diri padaku Penuh. Dan perawan.

Keheningan sesudah itu sebagai telaga besar yang beku dan aku pun beku di tepinya. Wajahku. Lihatlah, wajahku. Terkaca di keheningan. Berdarah dan luka-luka dicakar masa silamku.

(dari Blues untuk Bonnie, 1971)

Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam

Bismillahir rohmanir rohiim

Allah! Allah! Napasmu menyentuh ujung jari-jari kakiku yang menyembul dari selimut. Aku membuka mata dan aku tidak bangkit dari tidurku. Aku masih mengembara di dalam jiwa.

Burung-burung terbakar di langit dan menggelepar di atas bumi. Bunga-bunga apyun diterbangkan angin jatuh di atas air hanyut di kali, dibawa ke samodra, disantap oleh kawanan hiu yang lalu menggelepar jumpalitan bersama gelombang.

Aku merindukan desaku lima belas kilo dari Rangkasbitung. Aku merindukan nasi merah, ikan pepes, desir air menerpa batu, bau khusus dari leher wanita desa, suara doa di dalam kabut.

Musna. Musna. Musna. Para turis, motel dan perkebunan masuk desa. Gadis-gadis desa lari ke kota bekerja di panti pijat, para lelaki lari ke kota menjadi gelandangan. Dan akhirnya digusur atau ditangkapi disingkirkan dari kehidupan. Rakyat kecil bagaikan tikus. Dan para cukong selalu siap membekali para penguasa dengan semprotan antihama. Musna. Musna. Musna.

Kini aku di sini. Di Rotterdam. Menjelang subuh. Angin santer. Jendela tidak terbuka, tapi tirainya aku singkapkan. Kaca basah. Musim gugur. Aku mencium bau muntah. Orang Negro histeri ketakutan dikejar teror orang kulit putih di tanah leluhurnya sendiri di Afrika Selatan. Kekerasan. Kekuasaan. Kekerasan. Dan lantaran ada tambang intan di sana, kekuatan adikuasa orang-orang kulit putih juga termasuk yang demokrat, memalingkan muka, bergumam seperti orang bego, dan mengulurkan tangan di bawah meja, melakukan kerja sama dagang dengan para penindas itu. Dusta. Dusta. Dusta. Ya, Allah Yang Maharahman! Tanganku mengambang di atas air bersama sampah peradaban.

Apakah aku akan berenang melawan arus? Langit nampak dari jendela, Ada hujan bulu-bulu angsa. Aku hilang di dalam kegagapan. Ada trem lewat. Trem? Buldoser? Panser? Apakah aku akan menelpon Linde? Atau Adrian? Berapa lama akan sampai kalau sekarang aku menulis surat kepada Makoto Oda di Jepang? Sia-sia. Musna. Dusta.

Rotterdam! Rotterdam! Hiruk-pikuk suara pasar di Jakarta. Bau daging yang terbakar. Biksu di Vietnam protes membakar diri. Perang saudara di India yang abadi. Aku termangu. Apakah aku akan menyalakan lampu? Terdengar lonceng berdentang. Berapa kali tadi? Jam berapa sekarang? Ayahku di Rangkasbitung selalu bertanya: Kapan kamu akan menikah? Apakah kamu akan menikah dengan perempuan Indonesia atau Belanda? Kapan kamu akan memberiku seorang cucu? Apakah lampu akan kunyalakan? Di Rangkasbitung pasti musim hujan sudah datang. Kenapa aku harus punya anak? Kalau perang dunia ketiga meletus nuklir digunakan, angin bertiup, hujan turun, setiap mega menjadi ancaman. Jadi anakku nanti harus mengalami semua ini? Rambut rontok. Kulit terkelupas. Ampas bencana tidak berdaya. Ah, anakku, sekali kamu dilahirkan tak mungkin kamu kembali mengungsi ke dalam rahim ibumu!

Suara apakah itu? Electronic music? Jam berapa sekarang? Apakah sudah terlambat untuk salat subuh? Buku-buku kuliah di atas meja. Tanganku menjamah kaca jendela. Dan dari jauh datang mendekat: wajahku. Apakah yang sedang aku lakukan? Ya Allah Yang Maharahman! Tanganku mengambang di atas air bersama sampah peradaban. Apakah aku harus berenang melawan arus? Astaga! Pertanyaan apa ini!

Apakah aku takut? Ataukah aku menghiba? Apakah aku takut lalu menghiba? Pertanyaan apa ini!

Ya, Allah Yang Maharahman. Aku akan menelpon Linde dan juga Adrian. Aku akan menulis surat kepada Makoto Oda. Tanganku mengepal di dalam air tercemar sampah peradaban. Tidak perlu aku merasa malu untuk bicara dengan imanku.

Allah Yang Maharahman, imanku adalah pengalamanku.

Bojong Gede 6 Nopember 1990

(dari Orang-orang Rangkasbitung, 1993)

Sumber: Kompas, Minggu, 9 Agustus 2009

Label: ,

Seringkali kau berkata


Seringkali kau berkata,
ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya.

Tetapi,
mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa dia menitipkan padaku ?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini ?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?

Mengapa hatiku justru terasa berat,ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika semua itu diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja,
untuk melukiskan bahwa itu derita.

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskin

Seolah...... ..
semua "derita" adalah hukuman bagiku.

Seolah.....
keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika.
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan Kekasih...
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku"
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai
keinginanku.

Gusti......,
padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah... ..
Ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan tidak ada bedanya.
(WS Rendra)

Label: ,

Pembacaan Puisi Rendra







Label: ,

Nyanyian Angsa

DOKUMENTASI KOMPAS
WS Rendra bersama istri-istrinya, Sunarti (kanan) dan Sitoresmi (belakang), serta sebagian anak- anaknya.

W.S. Rendra

Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya
“Sudah dua minggu kamu berbaring,
sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang
malahan padaku kamu berhutang.
Ini biaya melulu. Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu mesti pergi.”

(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku
maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku
pelacur yang sengsara
kurang cantik dan agak tua)

Jam dua belas siang hari
matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak ada mega
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran
tanpa koper. Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka
sempoyongan ia berjalan
Badannya demam
Sipilis membakar tubuhnya
Penuh borok di kelangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya
Matanya merah. Bibirnya kering
Gusinya berdarah
Sakit jantungnya kambuh pula

Ia pergi kepada dokter
Banyak pasien lebih dulu menunggu
Ia duduk di antara mereka.
Tiba-tiba orang-orang menyingkir
dan menutup hidung mereka
Ia meledak marah
tapi buru-buru juru rawat menariknya
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun, hutangmu sudah
banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya
“Sekarang uangmu berapa?”
“Tak ada”
Dokter geleng kepala dan
menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter
dan ia tak jadi mriksa
Lalu ia berbisik kepada juru rawat
“Kasih ia injeksi vitamin C”
Dengan kaget juru rawat berbisik kembali
“Vitamin C? Dokter, paling tidak
ia perlu salvarsan!”
“Untuk apa? Ia tak bisa bayar
dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa harus dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negeri?”

(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka)

Jam satu siang
matahari masih di puncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek mutunya,
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci
karena khawatir akan pencuri.
Ia menuju pastori dan menekan bel pintu.
Koster keluar dan berkata
“Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang
dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf, saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor
dan berbau lalu berkata

“Asal tinggal di luar,
kamu boleh tunggu.
Aku lihat, apa pastor mau terima kamu.
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan kepanasan.
Ada satu jam
baru pastor datang kepadanya.

Setelah mengorek sisa makanan dari giginya,
Ia nyalakan cerutu, lalu bertanya
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya
Selopnya dari kulit buaya
Maria Zaitun menjawabnya.
“Mau mengaku dosa.”
Tapi ini bukan jam bicara
Ini waktu saya untuk berdoa.”
“Saya mau mati”
“Kamu sakit?”
“Ya, saya kena rajasinga.”
Mendengar ini pastor mundur dua tindak
Mukanya mungkret
Akhirnya, agak keder ia kembali bersuara
“Apa kamu –mm– kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur, ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik?”
“Ya”
“Santo Petrus”
Tiga detik tanpa suara
Matahari terus menyala
Lalu pastor kembali bersuara
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda, tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan
dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pater dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal-usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya kalut. Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan, atau apa saja
Untuk menemani jiwa saya”.
Dan muka pastor menjadi merah padam
Ia menuding Maria Zaitun
“Kamu galak seperti macan betina!
Barangkali kamu akan gila,
tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa!”

(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya
Tak bisa nangis, tak bisa bersuara
Maria Zaitun namaku,
Pelacur yang lapar dan dahaga)

Jam tiga siang
Matahari terus menyala
Dan angin tetap tak ada
Maria Zaitun bersijingkat
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyeberang jalan,
ia kepleset kotoran anjing
Ia tak jatuh tapi darah keluar dari borok
di kelangkangnya dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
Ia berjalan sambil mengangkang.

Di dekat pasar ia berhenti
Pandangnya berkunang-kunang
Napasnya pendek-pendek
Ia merasa lapar
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu, ia berjalan ke belakang satu restoran
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan
Kemudian ia bungkus hati-hati dengan daun pisang
Lalu berjalan menuju ke luar kota.

(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku
Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)

Jam empat siang
Seperti siput ia berjalan
Bungkusan sisa makanan masih di tangan
Belum lagi dimakan
Keringat bercucuran
Rambutnya jadi tipis
Mukanya kurus dan hijau
Seperti jeruk yang kering
Lalu jam lima
Ia sampai di luar kota
Jalan tak lagi beraspal
tapi debu melulu
Ia memandang matahari
dan pelan berkata “bedebah!”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
Ia tinggalkan jalan raya
Dan berbelok masuk sawah
Berjalan di pematang.

(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik, ia tusukkan
Pedangnya perkasa
Di antara kelangkangku
Dengarkan Yang Mulia
Maria Zaitun namaku
Pelacur yang kalah
Pelacur terhina)

Jam enam sore
Maria Zaitun sampai ke kali
Angin bertiup. Matahari turun,
Hari pun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya
Lalu ia makan pelan-pelan
Baru sedikit ia berhenti
Badanya masih lemas,
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.

(Malaikat penjaga firdaus
Tak kau rasakah bahwa senja telah tiba
Angin turun dari gunung dan
hari merebahkan badannya?
Malaikat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku
Bagai patung ia berdiri
dan pedangnya menyala)

Jam tujuh
dan malam tiba
Serangga bersuiran
Air kali terantuk batu-batu
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang
Dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia terngat masa kanak-kanak dan remajanya
Mandi di kali dengan ibunya
Memanjat pohonan dan memancing
ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi dan takutnya pergi
Ia merasa bertemu sobat lama
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya
Lantaran itu, ia sadar lagi kegagalan hidupnya
Ia jadi berduka dan mengadu pada sobatnya
Sembari menangis tersedu-sedu
Ini tak baik buat penyakit jantungnya.

(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
Ia tak mau mendengar jawabku
Ia tak mau melihat mataku
Sia-sia coba bicara padanya
Dengan angkuh ia berdiri
Dan pedangnya menyala)

Waktu
Bulan
Pohonan
Kali
Borok
Sipilis
Perempuan
Bagai kaca
Kali mentulkan cahaya gemilang
Rumput ilalang berkilauan
Bulan

Seorang lelaki datang dari seberang kali
Ia berseru “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan. Lelaki itu menyebrang kali
Ia tegap dan elok wajahnya
Rambutnya ikal dan matanya lebar
Maria Zaitun berdebar hatinya
Ia seperti pernah kenal lelaki itu. Entah di mana
Yang terang tidak di ranjang, itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti
dia.
“Jadi, kita ketemu di sini.” Kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan, lelaki itu membungkuk mencium mulutnya
Ia merasa seperti minum air kelapa
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu
Lalu lelaki itu membuka kutangnya
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah dengan mata terpejam
Ia merasa berlayar ke samudra yang belum pernah dikenalnya.

Dan setelah selesai, ia berkata kasmaran.
“Semula, kusangka hanya impian, bahwa hal ini bisa kualami. Semula tak
berani
kuharapkan bahwa lelaki tampan seperti kau bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapa namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawabnya
“Lihatlah, engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri
Di dua tapak tangan
Di dua tapak kaki
Maria Zaitun pelan berkata
“Aku tuhu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala
“Betul, ya.”

(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa
Dengan kaku ia beku
Tak berani lagi menuding kepadaku. Aku tak takut lagi
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus dan kumakan apel sepuasku
Maria Zaitun namaku
Pelacur dan pengantin adalah saya)

Label: ,